Awal Mula Menjadi Guru Privat

 

Sudah tujuh tahun ini saya menjalankan hobi sebagai seorang guru panggilan, alias guru privat. Datang dari satu rumah ke rumah lainnya untuk mengajarkan matetamtika, mendampingi mereka mengerjakan PR matematika, atau datang sekadar mendengarkan curhatan seorang remaja yang sedang patah karena orang yang disukainya tidak peka. Berbagai model murid privat juga saya hadapi, mulai dari murid yang cepat paham sampai murid yang butuh kesabaran, harus ngelus dada, saat mengajarkan matematika. Sungguh hobi yang menyenangkan sekaligus menguji kesabaran diri.

Saya teringat awal mula mendapat tawaran ngelesin, hal awal yang terpikirkan di kepala bukan terkait materi apa yang akan saya ajarkan, melainkan pakaian apa yang harus saya kenakan. Secara baru pertama kalinya sehingga saya harus mendapat kesan baik dari murid privat hanya dengan menilai penampilan diri. Saat itu juga saya memutuskan untuk mengenakan hem lengan panjang, celana kain, sepatu pantofel, dan tas ransel. Dengan percaya diri saya menginjakkan kaki di teras rumah murid privat, mengetuk pintu rumahnya, dan beberapa detik kemudian pintu dibuka oleh wanita muda yang sepertinya seorang asisten rumah tangga.

Selayaknya orang yang belum dikenal, saya mencoba memperkenalkan diri dengan ramah, “Selamat sore, mbak, saya Nikolas. Kedatangan saya ke sini untuk….”

Belum selesai memperkenalkan diri asisten rumah tangga tersebut  sudah memotong, “Maaf mas, kita ga nerima produk panci atau kecantikan, mungkin bisa ke rumah sebelah aja.”

Saya dikira sales coba! Produk panci? Dalam hati saya: Mbak, isi tas ransel saya itu laptop dan buku pelajaran, bukan peralatan masak seperti panci, wajan, kompor, atau gas LPG. Lalu apa coba yang membuat saya dikira sales produk kecantikan? Perasaan dandanan saya sudah ala laki-laki tulen. Tidak memakai maskara, bulu mata palsu, dan alis mata saya juga bukan alis mata lukis. Heran deh saya. Untungnya tidak lama kemudian murid privat saya keluar untuk menemui.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika ada tawaran untuk ngelesin lagi, saya mencoba berpenampilan alakadarnya saja. Cukup kaos berkerah, celana jin, dan sepatu santai. Saya sudah seperti anak mall gaul berusia 21 tahun yang siap nge-date. Kebetulan murid yang saya lesin kali ini duduk di bangku SMA dan perempuan. Ini kalau orang lain atau tetengganya lihat, saya sudah disangka gebetannya, tiap malam berkunjung untuk ngapelin, padahal ngelesin matematika. Takutnya lagi kalau saya disangka akan berbuat tidak-tidak. Saya mencoba membayangkan andai saya sudah berkata jujur bahwa saya adalah guru privat, tetapi mereka menangkapnya “privat” yang lain, kan bahaya. Oleh sebab itu, setiap ngelesin saya selalu membawa tas ransel. Semua buku berbau matematika saya masukkan. Baik itu matematika sekolah, matematika perguruan tinggi, sampai buku kuning telepon yang tebal itu saya bawa. Bodo amat! Yang penting sama-sama ada angkanya. Yang penting tas saya terlihat besar, penuh dengan buku agar saya punya bukti dan dipercaya bahwa saya ini guru privat.