Janjiku untuk Partner Kerjaku (Tugas Refleksi Akhir)

“Bro, bagus ini mata kuliahnya. Tentang etika bisnis. Tetapi lumayan sulit untuk dipahami.” Ucapku ketika partner kerjaku di kelas 5 masuk ke ruangan tempatku kuliah online.

“Weh.. menarik pasti. Pokoknya pesanku, bro… berikan yang terbaik untuk kuliahmu. Jadi tidak perlu menjadi yang terbaik di antara teman-temanmu, cukup tunjukkan bahwa kamu mampu bro..” Jawabnya dilanjutkan memberikan semangat untukku.

Percakapan di atas terjadi di awal perkuliahan saya secara online untuk mata kuliah etika bisnis. Materi saat itu disampaiakn oleh kelompok satu yang berisikan tentang langkah-langkah dalam mengambil keputusan etis. Saat proses presentasi itulah partner saya (Pak Rudy) memasuki ruangan. Saya sangat beruntung karena mendapatkan partner yang bisa sefrekuensi. Selalu saja ada bahan untuk didiskusikan. Mulai dari diskusi ringan terkait kehidupan sampai yang rumit terkait perpolitikan dan negara. Terkadang materi perkuliahan sengaja saya selipkan sebagai bahan diskusi, kemudian mengkaitkannya dengan berbagai persoalan serta memberikan penilaian apakah persoalan tersebut etis atau tidak. Tentunya diskusi etika yang terbangun saya kemas secara sederhana dan tidak terlalu teoritis, tidak seperti forum diskusi saat perkuliahaan. Sederhana namun mendalam sampai ke akar-akarnya.

Diskusi yang membekas dan teringat dalam pikiran saya ketika selesai membahas jenis-jenis etika dalam perkuliahan. Seketika itu saya mengajak diskusi bahwa penerapan PPDB dengan sistem zonasi itu sudah baik karen bertujuan untuk pemerataan. Anak yang rumahnya dekat tidak perlu mencari lokasi yang jauh karena pemerintah sedang mengupayakan agar seluruh sekolah di berbagai wilayah sudah berkualitas baik. Menjadi permasalahan ketika banyak orang tua yang melakukan siasat dengan cara titip kartu keluarga. Hal ini memunculkan kesan bahwa pemerintah mengambil keputusan yang tidak etis. Padahal pemerintah sudah mengambil keputusan terbaik dengan memperhatikan keadilan. Seketika itu juga Pak Rudy menyampaikan bahwa penempatan guru-guru pun seharusnya juga merata. Artinya, untuk memeratakan kualitas sekolah diberbagai daerah, perlu adanya pemerataan juga guru-guru berkualitas untuk ditempatkan diberbagai daerah. Pernyataan tersebut logis dan sesuai dengan teori etika keadilan. Siswa yang tinggal di desa atau daerah terpencil juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Harapannya untuk jangka panjang, pengaruh pendidikan berkualitas tersebut mampu membekali para siswa sehingga mampu mengembangkan daerahnya masing-masing.

Masih banyak diskusi-diskusi yang dikaitkan dengan pemahaman etika, namun saya tidak bisa menuliskannya satu per satu karena akan menjadi sangat sensitif ketika tulisan ini dapat dibaca oleh banyak orang. Singkatnya meski kuliah etika ini terasa sulit untuk dipahami secara teoritis, tetapi tetap menarik untuk dipelajari setiap pertemuannya. Menjadi semakin menarik lagi ketika materi kuliah yang diangkat mampu dikemas secara menarik oleh kelompok presentasi lewat isu-isu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Biasanya agar lebih mudah lagi dipahami saya memaksimalkan kemampuan metakognitif saya dengan membayangkan permasalahan-permasalahan tersebut terjadi pada diri saya ketika nantinya menjadi seorang pemimpi di suatu sekolah.

Bicara soal pemimpin, saya menilai bahwa dari sekian teori yang diberikan terkait etika hanya konsep etika keutamaan yang pas untuk diterapkan. Bagi saya seorang pemimpin wajib memiliki keutamaan agar mampu mengambil keputusan etis. Seorang pemimpin dengan keutamaannya tentunya sudah melekat menjadi suatu karakter baik yang dimilikinya sehingga segala keputusan dan kebijakan yang dibuat sudah berdasarkan hati nuraninya. Saya dan Pak Rudy pernah membuka obrolan tentang pemimpin. Kebetulan kami memiliki pandangan yang sama bahwa seorang pemimpin harus memiliki karakter yang baik dan jauh dari kepentingan apa pun itu. Selanjutnya menjadi pertanyaan sekaligus refleksi pribadi, apakah saya siap menjadi seorang pemimpin?

Saya teringat suatu channel milik Dr. Indrawan Nugroho yang kerap membahas dunia perusahaan. Salah satu kontennya pernah membahas tentang transformasi PT POS Indonesia sebagai strategi menghadapi digitalisasi. Sebagai orang muda yang mulai terbawa arus perkembangan zaman, bayangan saya akan PT POS Indonesia merupakan tempat yang usang. Saya lebih cenderung memilih mengirikan paket lewat jasa pengiriman lain yang dapat dilacak menggunakan aplikasi. Namun, setelah mendengarkan penjelasan Dr. Indrawan Nugroho terkait upaya PT Pos Indonesia bertransformasi mengikuti perubahan zaman, saya mendapat point penting bahwa melangkah dan melakukan perubahan menjadi suatu keharusan jika tidak ingin mengalami kepunahan. Maka, sosok pemimpin yang mampu membaca situasi dan mampu melihat perubahan ke arah yang jauh kedepan sangat dibutuhkan untuk kedepannya. Terkait perubahan dan etika inilah yang harus tertanam dalam diri saya agar mampu menjadi pemimpin yang memberikan dampak baik untuk dunia pendidikan. Sedangkan sekarang ini saya pribadi masih harus lebih banyak belajar lagi terkait pemimpin yang mampu membawa perubahan dan etika. Belum lagi masih harus menghadapi orang-orang yang sulit menerima dan sulit beradaptasi dengan perubahan. Dengan kata lain saya harus lebih ekstra lagi agar dapat diterima menjadi seorang pemimpin.

Secara keseluruhan ada empat hal yang akan saya lakukan ketika menjadi seorang pememimpin. Pertama, sesuai dengan apa yang disarankan oleh Pak Rudy selaku partner diskusi saya yakni menjadi pemimpin yang mampu memahami bawahannya. Kedua menjadi pemimpin yang mau terus belajar dan terbuka dengan berbagai hal baru dan mampu menilainya dari berbagai sudut pandang. Ketiga, menjadi pemimpin yang berani melakukan perubahan dan memberikan kebaruan dalam iklim kerja. Keempat menjadi pemimpin yang memiliki keutamaan seperti bertanggungjawab dan bijaksana. Keempat hal tersebut memang tidak mudah untuk diterapkan, namun setidaknya sebagai pribadi saya sudah punya keinginan untuk menjadi pribadi yang baru, berani ambil keputusan untuk menjadi pemimpin, dan mencoba memberikan yang terbaik untuk dunia pendidikan.

Sebagai penutup, segala proses yang saya jalani selama mengikuti dinamika perkuliahan etika bisnis tak lepas dari dukungan banyak orang. Terlebih dukungan dari Pak Rudy. Bahkan sampai di perkuliahan terakhir saat dilaksanakan secara tatap muka, beliau menyempatkan ke kampus mengantarkan rapor anak-anak didik saya agar bisa segera saya tandatangani. Padahal saya berencana ke sekolah di sore hari setelah perkuliahan selesai untuk menandatanganinya. Namun rupanya beliau dapat membaca kondisi saya yang sedang mendapat banyak tugas kuliah dan tugas-tugas tersebut tidak dapat ditinggalkan. Saya senang dengan sikap beliau, apa yang diputuskan oleh Pak Rudy sudah berlandaskan etika keutamaan. Saya hanya dapat mendoakan agar program KKS (Kursus Kepemimpinan Sekolah) yang sedang dijalankan beliau terselesaikan dengan hasil yang memuaskan. Syukur-syukur bisa menyusul saya untuk studi S2 dengan biaya dari ASJI dan Yayasan.

Terima kasih Pak Rudy dan seluruh rekan kerja SD Kanisius Wirobrajan untuk dukungannya. Saya merasa banyak merepotkan ketika saya sedang kuliah online terlebih saat tatap muka selama seminggu. Saya hanya bisa memberikan yang terbaik untuk studi S2 yang sedang saya jalani ini. Segala ketugasan dan presentasi serta keaktifan saya upayakan semaksimal mungkin. Dengan demikian harapannya janji saya seperti yang saya sampaikan di awal dapat tertepati.

Menjadi Negara yang Berdikari

Menjadi guru les untuk anak yang tinggal di lingkungan desa membuat pikiran saya terbuka akan Indonesia. Rasa nasionalis saya untuk Indonesia seakan bertumbuh hanya dari suatu pengamatan tak sengaja. Saya melihat anak kecil yang sedang bermain di pinggir sawah sembari menunggu ayahnya bekerja di sawah.

Foto milik pribadi. Seorang anak sedang menunggu ayahnya bekerja di sawah.

Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah anak tersebut kelak akan meneruskan pekerjaan yang sudah ditekuni ayahnya sebagai petani? Secara, sejauh saya mengamati sangat jarang ditemukan anak muda yang punya keinginan kuat untuk bertani dan mengembangkan ilmu pertanian. Atau mungkin saya sendiri yang kurang bereksplorasi dan menelisik perkembangan dunia pertanian di Indonesia.

Saya sempat menanyakan ke ayah murid les saya berkaitan kepemilikan sawah di depan rumahnya. Beliau memberi penjelasan bahwa sawah di depan rumahnya sudah dikelola turun menurun. Ayah dari anak tersebut merupakan generasi ke sekian (melanjutkan kakeknya yang juga bekerja sebagai petani). Seketika itu juga pikiran saya kembali pada pertanyaan apakah anak tersebut kelak akan ikut bertani juga? Apakah sebaliknya anak tersebut memilih profesi lain? Kalau begitu bagaimana dengan sawah yang sudah ada, apakah dilanjutkan saudara lain atau dijual?

Jujur, meski saya tidak menguasai dunia pertanian, namun saya punya dasar berpikir yang sederhana bahwa kebutuhan kita sebagai manusia yang paling utama dihasilkan dari kerja keras petani. Dengan lahan yang begitu luas, saya beranggapan bahwa sebetulnya Indonesia bisa berdikari (berdiri di kaki sendiri), alias mandiri.

Sebagai guru, ketika saya sedang mengajarkan materi kegiatan ekonomi mata pelajaran IPS, masalah pertanian selalu saya tekankan ke anak-anak. Saya menyampaikan bahwa Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam. Dari sektor pertanian sudah memberi banyak kebutuhan pangan untuk kita. Namun, sejauh saya menjadi guru, setiap saya bertanya siapa yang ingin menjalankan usaha di bidang pertanian, tak ada satu anak pun yang angkat tangan.

Harapan saya sebagai guru untuk anak-anak didik saya kedepan, apa pun profesi atau pekerjaan yang mereka pilih, jangan sampai menjadi bagian dari bangsa yang tak nasionalis. Semoga mereka bisa menjadi bangsa yang mampu mewujudkan Indonesia menjadi negara yang berdikari.

Terpanggil Menjadi Guru

untitled-design.jpg

Saat masih duduk di bangku SD, jika ada yang menanyakan apa cita-citamu, saya selalu menjawab bahwa saya ingin menjadi seorang pelukis. Tidak ada keinginan sama sekali menjadi seorang guru. Secara, saat itu saya suka menggambar segala hal menarik yang saya temui dan menuangkannya di permukaan kertas A3. Contohnya ketika saya diajak pergi ke pasar malam di alun-alun utara, kemudian saya melihat berbagai wahana yang ada, di situ ada keinginan dalam hati yang muncul untuk menuangkannya dalam bentuk gambar. Hanya dengan bermodal selembar kertas A3, 36 buah krayon, dan cat poster berwarna hitam atau biru untuk warna latar belakangnya; saya bisa hanyut dalam kenikmatan menggambar berjam-jam.

Memasuki SMP saya mulai tertarik dengan dunia tarik suara. Segala syair dari grup band pop saya nyanyikan tiap waktu. Ketika beberapa teman saya membentuk band, saya ikut nimbrung setiap mereka akan berlatih di studio band dekat sekolah. Saya ingin mengukur seberapa merdu suara saya.

Bersamaan dengan ketertarikan saya dalam dunia tarik suara, kemampuan saya dalam matematika juga mulai terlihat saat SMP. Saya mulai bisa memahami pola dari suatu konsep materi dalam matematika yang diajarkan oleh guru, terlebih dalam menyelesaikan soal matematika dalam bentuk cerita. Akan tetapi, kemampuan saya dalam matematika belum seberapa dibandingkan dengan teman saya yang mampu lolos seleksi Olimpiade tingkat kota.

Memasuki SMA, saya masuk jurusan IPS hanya karena nilai Kimia saya di bawah KKM, tetapi hal tersebut tidak menutup diri saya untuk terus berkembang. Saya tetap mau mempelajari matematika ditambah lagi ilmu-ilmu sosial sebagai pelengkap, padahal saya ini sulit sekali dalam hal hafalan. Kemudian, ketika duduk di bangku kelas 12 saya mulai menyukai membaca buku psikologi dan filsafat, membaca segala buku yang mampu mengasah kemampuan saya dalam berpikir mendalam. Saya mulai hobi membeli buku-buku inspiratif dan mencerahkan. Setiap buku yang saya baca menjadi gizi tambahan serta membuat saya berpikir reflektif. Hal tersebutlah yang mendorong saya ingin mengambil jurusan Psikologi atau Filsafat saat kuliah. Namun, hati nurani tetap menuntun saya untuk mendalami matematika dan saya memilih Fakultas Keguruan, Program Studi Pendidikan Matematika ke depannya.

Di tahun 2011 saya resmi menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Matematika. Di awal semester saya masih sanggup mengikuti segala mata kuliah yang ada seperti Aljabar Elementer, Geometri Bidang, sampai Trigonometri. Memasuki semester 3 saya mulai kewalahan, nyaris menyerah, dan ingin pindah jurusan yang lebih mudah, tetapi lagi-lagi sepertinya Tuhan sudah menuntun jalan saya untuk tetap menyelesaikan studi di pendidikan matematika. Akhirnya saya memilih untuk berjuang menyelesaikan pilihan saya dan tak lupa untuk terlibat juga dalam organisasi di kampus sebagai bentuk mengembangkan diri serta menjadi guru les dari rumah ke rumah di sore hari. Jadi aktivitas saya saat itu hanyalah kuliah, berorganisasi, ikut kepanitiaan, ngelesin, dan setelah semuanya selesai barulah saya pulang ke rumah.

Memasuki akhir semester sampailah saya mengalami langsung mengajar di salah satu sekolah Kristen tingkat SMP di Yogyakarta sebagai mahasiswa PPL. Saat itu saya diminta untuk mengajar di kelas VII A dan D, dua kelas dengan latar belakang yang berbeda. Dapat dikatakan kelas A berisikan anak-anak dengan kemampuan lebih, sedangkan kelas D berisikan anak-anak dengan kemampuan kurang. Hal tersebutlah yang juga saya rasakan ketika mengajarkan matematika, saya lebih mudah mengajar di kelas A dari pada di kelas D. Situasi kelas A saat itu lebih cenderung mudah diatur dan anak-anak dominan mau mendengarkan. Sebaliknya, kelas D cenderung ramai, susah diatur, anak-anak terlihat kurang bersemangat dan satu hal yang saya peroleh dari kelas tersebut, yaitu anak-anaknya rata-rata berasal dari keluarga bermasalah. Di sinilah awal dari panggilan saya menjadi guru. Saya terpanggil bukan karena saya ingin mengajar dan menekuni profesi guru matematika, tetapi saya terpanggil karena ingin menolong anak-anak bermasalah tersebut dengan cara mendidik dan menjadi teman mereka. Saat itu hal yang terdengar dalam hati saya “Siapa lagi yang mau menyelamatkan masa depan mereka kalau bukan seorang guru, bukankah tugas seorang guru tidak sekadar mengajarkan atau menyampaikan ilmu saja, tetapi juga mendidik sikap mereka.”

Jalan yang Kupilih

Tidak ada manusia yang bisa memilih di mana ia ingin dilahirkan. Semua sudah menjadi kehendak Bapa sehingga mau tidak mau setelah dilahirkan harus mau berproses dan menjalani hidup sampai tuntas. Tentunya jalan yang dilalui sudah sesuai rencana Bapa.

Meski Bapa sudah merencanakan hidup setiap manusia, bukan berarti jalan yang dilalui lurus begitu saja. Terasa mudah dan nyaman. Pasti akan menghadapi banyak pilihan bagaimana manusia harus hidup, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi yang harus di tanggung serta ada hal yang harus dikorbankan. Setiap pilihan akan ada manis dan pahitnya tersendiri. Begitu juga dengan apa yang saya jalani.

Setelah lulus kuliah, sabagai anak pertama saya merasa banyak hal yang dipikirkan. Terlebih masalah pekerjaan. Saya iri dengan rekan-rekan satu angkatan saya yang pada akhirnya bisa melanjutkan kerja di luar kota. Mereka bisa bebas menggapai impian mereka sebagai guru. Mendapat suport dari orang tua atau sanak saudara. Entah mereka dimodali atau mengumpulka uang sendiri untuk merantau. Yang pasti kondisi saya tidak serupa dengan mereka. Saya harus tetap di Jogja melihat ibu saya seorang single parent, sehingga saya lebih memilih untuk tinggal di Jogja. Sebenarnya adik kandung saya bisa menemani jika pada akhirnya saya bersikeras ingin kerja di luar kota, namun tetap saja saya terkendala di modal awal untuk ke luar kota. Hal yang terpikir saat itu hanyalah mengumpulkan uang dari hasil ngelesin sebagai modal ke luar kota, tetapi tetap saja kebutuhan hidup saya saat itu dengan hasil ngelesin tidak menyisakan uang. Terlebih duka guru privat jika tidak dibayar tepat waktu atau tidak dibayar sama sekali. Saya hanya bisa berdoa agar segera mendapatkan pekerjaan sesuai bidang saya di Jogja untuk mendapat penghasilan tetap.

Ketika saya mendapat pekerjaan untuk pertama kalinya, saya merasa diuji. Gaji sedikit, terkadang telat digaji, dan harus menghadapi beberapa anak yang bermasalah. Semua tidak mudah dijalani, tetapi jujur semua membentuk mental saya sekarang. Sampai suatu ketika saya dihadapkan pada keinginan lain untuk menikah.

Permasalahan menikah menjadi beban yang begitu berat untuk saya. Semakin dipikirkan semakin teringat penghasilan saya tidak cukup untuk membiayai menikah. Mungkin orang lain akan berfikiran orang tua sudah menyiapkan dana atau tabungan untuk pernikahan saya. Padahal yang ada, ibu saya tidak memiliki tabungan karena uang sudah sepenuhnya untuk membiayai saya masuk kuliah dan adik saya. Yang tersisa hanyalah tanah peninggalan bapak di mana tanah tersebut tidak akan di jual. Akhirnya saya memutuskan berhenti menjadi guru dan bekerja di salah satu perusahaan di bidang penerbitan. Jujur, saya nyaman dengan situasi kerja di perusahaan tersebut. Gaji yang di peroleh juga cukup. Namun, ada satu dua hal yang membuat saya merasa bahwa ini bukan passion saya. Saya teringat akan impian-impian saya sebagai guru. Saya ingin berkembang dan mengepakkan sayap sebagai seorang pendidik. Oleh sebab itu, agar kemampuan saya sebagai pendidik tidak berkurang, sepulang kerja saya tetap ngelesin matematika dari rumah ke rumah. Lelah, tetapi saya siap menjalaninya.

Di pertengahan saya bekerja, saya diperkenalkan oleh Bapa dengan dua orang wanita. Wanita pertama menginginkan saya mempunyai pekerjaan yang mapan, berstatus pegawai tetap, tetapi bukan guru, melainkan pegawai di perusahan bonafit. Wanita kedua menginginkan saya bisa mengikuti passion saya sebagai guru, mendukung apa yang ingin saya capai, mengarahkan saya untuk mencapai mimpi tersebut, selalu menegaskan bahwa rezeki tidak melulu uang dan meyakinkan bahwa saya mampu mencari penghasilan tambahan dari ngelesi. Melalui proses yang panjang dan pertimbangan yang membutuhkan pergulatan hati, saya memilih kembali menjadi guru sekaligus meminta wanita kedua untuk selalu menemani dan mensuport saya dalam berkarir sebagai guru kedepannya.

Saya paham, dengan menjadi guru banyak yang menyarankan saya untuk mencari pekerjaan lain dengan gaji lebih untuk membangun masa depan. Terlebih saya laki-laki yang kelak akan menafkahi keluarga. Akan tetapi, di sini saya sudah memilih untuk menjadi guru dengan konsekuensi digaji sedikit dan menunda untuk menikah sebagai hal yang saya korbankan.

Ya, saya sudah memilih dan sekarang saya harus berjuang untuk menggapai mimpi tersebut, menjadi guru berprestasi, dicintai, dan ada di hati murid-muridnya, kemudian mati sebagai guru.

Awal Mula Menjadi Guru Privat

 

Sudah tujuh tahun ini saya menjalankan hobi sebagai seorang guru panggilan, alias guru privat. Datang dari satu rumah ke rumah lainnya untuk mengajarkan matetamtika, mendampingi mereka mengerjakan PR matematika, atau datang sekadar mendengarkan curhatan seorang remaja yang sedang patah karena orang yang disukainya tidak peka. Berbagai model murid privat juga saya hadapi, mulai dari murid yang cepat paham sampai murid yang butuh kesabaran, harus ngelus dada, saat mengajarkan matematika. Sungguh hobi yang menyenangkan sekaligus menguji kesabaran diri.

Saya teringat awal mula mendapat tawaran ngelesin, hal awal yang terpikirkan di kepala bukan terkait materi apa yang akan saya ajarkan, melainkan pakaian apa yang harus saya kenakan. Secara baru pertama kalinya sehingga saya harus mendapat kesan baik dari murid privat hanya dengan menilai penampilan diri. Saat itu juga saya memutuskan untuk mengenakan hem lengan panjang, celana kain, sepatu pantofel, dan tas ransel. Dengan percaya diri saya menginjakkan kaki di teras rumah murid privat, mengetuk pintu rumahnya, dan beberapa detik kemudian pintu dibuka oleh wanita muda yang sepertinya seorang asisten rumah tangga.

Selayaknya orang yang belum dikenal, saya mencoba memperkenalkan diri dengan ramah, “Selamat sore, mbak, saya Nikolas. Kedatangan saya ke sini untuk….”

Belum selesai memperkenalkan diri asisten rumah tangga tersebut  sudah memotong, “Maaf mas, kita ga nerima produk panci atau kecantikan, mungkin bisa ke rumah sebelah aja.”

Saya dikira sales coba! Produk panci? Dalam hati saya: Mbak, isi tas ransel saya itu laptop dan buku pelajaran, bukan peralatan masak seperti panci, wajan, kompor, atau gas LPG. Lalu apa coba yang membuat saya dikira sales produk kecantikan? Perasaan dandanan saya sudah ala laki-laki tulen. Tidak memakai maskara, bulu mata palsu, dan alis mata saya juga bukan alis mata lukis. Heran deh saya. Untungnya tidak lama kemudian murid privat saya keluar untuk menemui.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika ada tawaran untuk ngelesin lagi, saya mencoba berpenampilan alakadarnya saja. Cukup kaos berkerah, celana jin, dan sepatu santai. Saya sudah seperti anak mall gaul berusia 21 tahun yang siap nge-date. Kebetulan murid yang saya lesin kali ini duduk di bangku SMA dan perempuan. Ini kalau orang lain atau tetengganya lihat, saya sudah disangka gebetannya, tiap malam berkunjung untuk ngapelin, padahal ngelesin matematika. Takutnya lagi kalau saya disangka akan berbuat tidak-tidak. Saya mencoba membayangkan andai saya sudah berkata jujur bahwa saya adalah guru privat, tetapi mereka menangkapnya “privat” yang lain, kan bahaya. Oleh sebab itu, setiap ngelesin saya selalu membawa tas ransel. Semua buku berbau matematika saya masukkan. Baik itu matematika sekolah, matematika perguruan tinggi, sampai buku kuning telepon yang tebal itu saya bawa. Bodo amat! Yang penting sama-sama ada angkanya. Yang penting tas saya terlihat besar, penuh dengan buku agar saya punya bukti dan dipercaya bahwa saya ini guru privat.

Tentang Bertanya

IMG-20170801-WA0004

Dinamika para siswa di luar kelas terasa lebih menarik dibandingkan saat pelajaran di kelas. Prof. Dr. Surono, ahli gunung api dunia sekaligus staf ahli Kementrian ESDM, mampu membuat siswa SD dan SMP antusias mendengarkan pengalaman beliau bersama gunung berapi. Padahal beliau hanya menyampaikannya secara lisan, cukup bercerita tanpa buku paket atau sorotan gambar dari proyektor. Selesai bercerita beliau dihujani banyak pertanyaan dari beberapa siswa SD. Seakan mereka punya segudang keingintahuan. Ketika keingintahuan mereka belum terpuaskan oleh jawaban yang diberikan, mereka akan bertanya lagi sampai menjapatkan jawaban yang memuaskan. Menjadi pertanyaan saya selanjutnya, mengapa siswa SD tersebut lebih antusias dan aktif bertanya dibandingkan siswa SMP yang lebih memilih diam?

Awal mula masuk kuliah, saya bertemu dosen mata kuliah logika, Pak Marpaung. Beliau juga sempat mempermasalahkan mengapa para mahasiswa tidak ada yang bertanya. Beliau mengeluhkan bahwa mahasiswa seharusnya banyak keingintahuan, tetapi ini miskin keingintahuan, miskin pertanyaan. Hal tersebut juga terlontar dalam hati saya bahwa siswa SMP seharusnya haus keingintahuan, sama seperti anak SD. Meskipun pertanyaan SD terdengar lucu dan polos, Prof. Surono juga tetap menjawabnya sesuai pemikiran anak SD.

 

Salah satu pertanyaan tersebut, “Apakah manusia bisa berbicara dengan gunung?”

“Oh bisa. Saat suara gemuruh mulai terdengar dan suhu sekitar mulai meningkat, itu artinya gunung sedang memberi tahu kita untuk waspada.” Jelas Prof. Surono.

 

Berdasarkan hasil wawancara saya dengan 5 siswa di salah satu SMP Negeri Yogyakarta dan 10 murid privat, saya mendapatkan jawaban terkait permasalahan bertanya. Mereka tidak bertanya karena takut salah, takut diketawakan, tidak tahu apa yang ingin ditanyakan, merasa jelas, dan gurunya galak. Saya rasa seluruh jawaban tersebut sangat manusiawi, tidak salah, dan saya juga pernah mengalaminya sebagai siswa.

Saat menjadi guru di kelas saya juga pernah merasakan suasana diam tanpa pertanyaan. Beberapa siswa lebih memilih bertanya tidak pada saat sesi bertanya. Mereka secara mandiri bertanya mengunjungi meja saya atau pada saat saya berkeliling dari satu bangku ke bangku lain.

Terkadang saya juga harus menahan marah saat siswa bertanya. Saya sudah menjelaskan, tetapi siswa tersebut tidak lekas mengerti atau menanyakan hal yang sama atau saat sesi diskusi salah satu siswa paham tetapi tidak mampu menjelaskan ke temannya. Saya menahan marah karena saya takut mereka tidak mau lagi bertanya.

Jika dikembalikan pada permasalahan awal, idealnya setiap guru seharusnya mampu tampil seperti Prof. Surono. Tampil yang saya maksud apapun gaya mengajarnya tetap mampu membuat siswa penasaran, tertarik, haus akan keingintahuan, dan bertanya. Bukan tampil menyampaikan isi buku paket sekedar membaca atau menyalin ulang.

Kemudia idealnya seorang siswa tidak sekedar menerima pengetahuan, tetapi juga berani menggali pengetahuan dengan bertanya. Rekan saya berpendapat bahwa hal tersebut tentunya butuh pembiasaan di keluarga, sekolah, atau lingkungan masyarakat. Seperti menanamkan kebiasaan membaca buku, memberi kesempatan anak didik berpendapat dan bertanya, atau mendampingi anak didik untuk mengenal lingkungan sekitarnya.

Menghafal Perkalian dengan Memahami Pola

IMG_20170410_052551-01

Pertama kali bertemu perkalian, bukan perasaan cinta yang muncul, perasaan ingin sekali bertemu dan mempelajarinya, melainkan perasaan malas dan berharap matematika itu tidak ada.

Awalnya mungkin terasa mudah, karena perkalian yang diberikan masih berkelipatan satu sampai lima. Tetapi, setelah masuk kelipatan enam sampai sembilan, tangan saya terasa ingin diistirahatkan. Bayangkan saja saya harus menuliskan cara menentukan hasil 9 x 7, yakni 7 + 7 + 7 + … + 7 (sebanyak sembilan), kemudian menjumlahkannya satu per satu. Saya bisa menjumlahkannya serta menemukan hasilnya, tetapi lama dan masih menggunakan jari, sedangkan teman-teman yang lain sudah mampu berhitung cepat bahkan ada yang sudah hafal.

Selanjutnya pastinya guru akan dituntut untuk menyelesaikan materi sehingga menuntut siswa agar segera hafal perkalian. Yang sudah belajar duluan akan unggul, dan saya beserta teman-teman yang belum menguasai akan tertinggal. Itulah sebabnya saat itu saya tidak menyukai matematika, karena saya sulit menghafal perkalian.

Karena kekuranga saya tersebut, bapak saya berupaya dengan membelikan tabel perkalian 1 x 1 sampai 10 x 10 agar saya bisa. Di waktu luang bapak saya selalu menyodorkan tabel perkalian ke saya untuk dihafalkan kemudian menanyai saya satu per satu. Setiap salah, saya diminta untuk melihat ulang. Dimarahi karena salah lagi menjadi hal biasa. Saya paham metode yang dilakukan Bapak saya tidak tepat. Saya bisa memakluminya sekarang. Setidaknya Bapak saya ada waktu untuk menemani saya belajar.

Suatu ketika, saat kelas 3 SD, saya menemukan pola agar mudah menghafal perkalian. Pertama saya mengamati tabel perkalian dua.

1 x 2 = 2

2 x 2 = 4

3 x 2 = 6

4 x 2 = 8

5 x 2 = 10

6 x 2 = 12

7 x 2 = 14

8 x 2 = 16

9 x 2 = 18

10 x 2 = 20

 

Hasil yang diperoleh 2, 4, 6, 8, 10, … , 20, ternyata bedanya adalah 2. Selanjutnya saya amati perkalian tiga memiliki hasil 3, 6, 9, 12, 15, … , 30, ternyata bedanya 3, perkalian empat bedanya 4, perkalian tujuh bedanya 7, dan seterusnya. Jadi yang saya lakukan saat muncul pertanyaan 7 x 6, saya akan berhitung dalam hati dengan beda 6 dimulai dari 1 x 6.

Kedua, karena itu terasa masih lama, saya menghafalkan perkalian dua dan perkalian lima karena mudah. Jadi semisal muncul pertanyaan 7 x 6, saya berhitung dalam hati dimulai dari 5 x 6.

Ketiga, belum puas dengan itu, saya menghafalkan perkalian dua bilangan sama, seperti 2 x 2, 3 x 3, 4 x 4, … , 9 x 9. Jadi semisal muncul pertanyaan 9 x 8, saya berhitung dalam hati dimulai dari 8 x 8.

Keempat, saya menemukan keunikan pada perkalian sembilan, contohnya 2 x 9 = 18 dan 9 x 9 = 81, 3 x 9 = 27 dan 8 x 9 = 72, 4 x 9 = 36 da 7 x 9 = 63, serta 5 x 9 = 45 dan 6 x 9 = 54. Hasil yang diperoleh memiliki angka-angka yang saling berkebalikan. Jadi saya dapat dengan mudah mengingat perkalian sembilan dengan cukup menghafal perkalian 2 x 9 sampai 5 x 9.

Dari semua itu, pola saya menghafal perkalian, di kelas 4 SD saya sudah nglotok semua perkalian. Saat menemukan soal menentukan luas daerah persegi, persegi panjang, atau jajar genjang saya lahap habis.

Jadi, begitulah cara atau usaha saya agar hafal perkalian. Bukan sekedar menghafal secara tabel, tetapi juga memahami pola yang terbentuk.

Pengalaman saya ini pun sedang saya terapkan untuk mereka yang lemah dalam perkalian.

 

Pak Broto, Guru Pengurangan

valpnow_com-questlove_1150-01

Ketika saya masih kelas 2 SD, soal pengurangan menjadi soal yang menakutkan. Kemampuan otak saya tidak mampu memahami proses pinjam meminjam. Menentukan hasil 14 dikurangi 8 saja saya masih kesulitan. Alat bantu yang saya gunakan untuk mengurangkan, ya, lidi-lidian. Saya harus menggambar lidi sebanyak 14 terlebih dahulu, lalu saya coret sebanyak 8, diperolehlah hasil 6.

Memasuki kelas 3 SD, saya malu kalau masih menggunakan lidi-lidian. Saya pun menggunakan penggaris sebagai alat bantu. Semisal saya mendapatkan soal 12 dikurangi 7, saya langsung memindai 12 pada  penggaris, kemudian menunjuk mundur sebanyak 7 satuan, diperolehlah hasil 5. Lebih praktis dan tidak perlu coret-coretan.

Suatu ketika rumah saya mendapat giliran pemadaman listrik dan saya ada PR matematika. Sebetulnya momen pemadaman listrik menjadi momen menggembirakan karena saya punya alasan untuk tidak mengerjakan PR. Tetapi, berhubung Bapak saya itu super disiplin, tetap disuruh mengerjakan PR. Saya diminta untuk mengerjakan PR di rumah Mbah Wagino, tetangga belakang rumah saya.

Sambil menggerutu saya mengerjakan soal pengurangan bersusun dengan tipe soal bilangan ratusan dikurangi bilangan ratusan. Contohnya 342 dikurangi 118. Bagi saya mudah karena sudah mulai paham proses pinjam-meminjam dan ada alat bantu penggaris.

Saat saya sedang memindai penggaris, tiba-tiba ada yang nyeletuk dari belakang saya.

“Weh, le, uwes kelas telu ngitunge isih nganggo penggaris?” Artinya, “Sudah kelas tiga kok berhitungnya masih menggunakan penggaris.”

Rupanya Pak Broto, anak dari Mbah Wagino, mengamati cara saya berhitung. Saya pun hanya bisa cengengesan karena malu.

Pak Broto langsung mengambil buku PR saya dan berkomentar, “Owalah, pengurangan, ngene carane nggarap sing penak.” Artinya, “Oh, soal pengurangan, begini cara mudah mengerjakannya.” Diambilnya pensil di atas meja, duduk di samping saya, dan mulai menjelaskan.

Semisal dari proses pinjam-meminjam diperoleh 13 dikurangi 4. Langkah awalnya mengurangkan 10 dengan 4 terlebih dahulu, hasilnya 6. Langkah kedua jumlahkan 6 dengan 3, hasilnya 9. Jadi hasil dari 13 dikurangi 4 adalah 9. Kira-kira begitulah cara Pak Broto mengajarkan penguranagn tanpa alat bantu hitung.

Setelah kuliah di pendidikan matematika, saya mencoba menelaah cara yang diberikan Pak Broto. Ternyata beliau menggunakan sifat komutatif operasi penjumlahan bilangan bulat.

 

13 – 4 = 10 + 3 + (– 4)
  = 10 + (– 4) + 3
  =   6 + 3
  =   9

 

Berkat bantuan Pak Broto, saya menjadi percaya diri karena tidak perlu lagi menggunakan penggaris. Sampai sekarang pun saya masih menggunakan cara tersebut dan tidak pernah hafal pengurangan 11 dengan 7. Akhirnya, pengalaman inilah yang saya jadikan prinsip bahwa matematika tidak untuk dihafalkan.

Membaca Tak Sekedar Bisa Baca


Suatu ketika saya memberikan penggalan bacaan di pertengahan pembelajaran agar siswa tidak terlalu tegang belajar matematika sekaligus saya ingin mengukur seberapa mampu siswa dapat memahami suatu bacaan. Bacaan tersebut berjudul Sabar dan Bijak Ala Gandhi.

Suatu hari, ketika Prof. Peters sedang makan siang di kantin kampus, Gandhi muda datang dan duduk di sampingnya sambil membawa makan siangnya. Prof. Peters lantas berkata, “Gandhi, apakah Anda tidak mengerti bahwa seekor sapi dengan seekor burung tidak duduk berdampingan untuk makan?”

Gandhi pun menjawab dengan tenang, “Jangan kawatir, Prof. Saya akan segera ‘terbang’.” Gandhi pun segera pergi untuk makan di meja lainnya.

Setelah siswa selesai membaca,  saya meminta 7 siswa saya untuk menyampaikan maksud dari bacaan tersebut. Hasil yang saya peroleh hanya dua siswa yang paham dan mampu menyampaikan maksud dari bacaan tersebut. Secara kebetulan juga dua siswa tersebut juga siswa yang mudah paham dengan penyajian matematika.

Permasalahan tersebut cukup menunjukan bahwa membaca yang dilakukan siswa hanya sekedar membaca tiap kata, kalimat, atau paragraf, bukan memahaminya.

Hal tersebut juga terjadi saat saya mengajarkan matematika. Rumusan yang saya tulis disertai penjelasan hanya sekedar dibaca kemudian disalin ulang di buku catatan tanpa dipahami. Akhirnya saat saya mengadakan ulangan open book dengan model soal sama, hanya angkanya yang saya ganti, mereka tidak dapat menyelesaikannya. Catatan yang ada pun hanya menjadi tulisan yang tak punya makna.

Hasil PISA 2012 menunjukan bahwa mayoritas siswa usia 15 tahun belum memiliki kemampuan dasar seperti membaca dan matematika. Untuk membaca secara persentase menunjukan 56% dan matematika menunjukan 75% di bawah kompetensi umum. Memprihatinkan bukan?

Jadi berdasarkan hasil PISA dan permasalahan yang saya temui di kelas butuh suatu penyelesaian agar tidak menjadi akut. Seperti yang baru-baru ini terjadi di sela-sela Pilkada. Banyak bacaan yang menebarkan isu dan lucunya masih banyak orang yang menerimanya mentah-mentah sebagai informasi. Saya tidak ingin anak didik saya menjadi orang yang sama.

Permasalahan tersebut menjadi PR besar untuk guru bahasa dan matematika. Tidaklah cukup kalau hanya mengandalkan kurikulum yang berlaku. Tidaklah cukup kalau hanya bermodalkan materi dan soal latihan dari buku paket.

Menyoroti Siswa Bermasalah

Pemahaman siswa bermasalah kali pertama saya kenal ketika saya SD. Saat SD saya memahami siswa bermasalah sebagai siswa yang selalu buat ulah di sekolah, nakal, nilainya jelek, dan ujung-ujungnya orang tua di panggil oleh Wali Kelas atau langsung menghadap Kepala Sekolah.

Memasuki SMP, pemahaman siswa bermasalah sedikit terbangun ketika salah satu guru menceritakan bahwa mereka yang bermasalah adalah mereka yang hidup dalam keluarga bermasalah seperti perceraian. Di SMP siswa bermasalah pun akan dihadapkan dengan guru BK untuk diberikan sanksi.

Saat SMA saya mengamati siswa bermasalah diberikan pendampingan oleh guru BK agar dapat bertanggung jawab atas seluruh tindakannya. Bahkan siswa lain pun punya tanggung jawab untuk mengayomi agar dapat meringankan apa yang dialami siswa bermasalah. Artinya, siswa bermasalah sesungguhnya butuh perhatian, butuh motivasi, dan butuh dukungan.

Saat kuliah di FKIP, Dosen saya mengatakan bahwa permasalahan siswa bermasalah itu bukan pada siswanya tapi lebih pada orang tuanya.

Saat mengikuti kegiatan Baksos sebanyak tiga kali di sekolah yang berbeda dan melaksanakan PPL di sekolah, saya memukan bahwa siswa bermasalah adalah siswa yang hidup dalam keluarga yang tidak mengenakkan, baik itu yang mampu maupun yang tidak mampu. Mereka tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya.

Perhatian yang saya maksud seperti arahan, bimbingan, motivasi, atau dukungan. Kemudian keluarga yang saya maksud seperti orang tua, nenek, kakek, tante, om, atau saudara terdekatnya.

Sekarang saya sudah menjadi guru dan masih menghadapi hal yang serupa dan terus memikirkan penyelesaiannya. Upaya saya hanya membangun kedekatan dengan mereka dan memberi perhatian untuk mereka. Hanya saja, pertanyaan selalu saja muncul. Apakah pada akhirnya mereka dapat berubah atau hanya nasehat Tuhan yang dapat merubah mereka? Mengapa mereka harus lahir di keluarga bermasalah? Apakah betul setiap bayi yang lahir harus menemukan sendiri jalan kebenaran saat sudah dewasa nanti?

Semua petanyaan di atas hanya Tuhan yang tahu.Tugas saya cukuplah mendidik mereka.