Jalan yang Kupilih

Tidak ada manusia yang bisa memilih di mana ia ingin dilahirkan. Semua sudah menjadi kehendak Bapa sehingga mau tidak mau setelah dilahirkan harus mau berproses dan menjalani hidup sampai tuntas. Tentunya jalan yang dilalui sudah sesuai rencana Bapa.

Meski Bapa sudah merencanakan hidup setiap manusia, bukan berarti jalan yang dilalui lurus begitu saja. Terasa mudah dan nyaman. Pasti akan menghadapi banyak pilihan bagaimana manusia harus hidup, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi yang harus di tanggung serta ada hal yang harus dikorbankan. Setiap pilihan akan ada manis dan pahitnya tersendiri. Begitu juga dengan apa yang saya jalani.

Setelah lulus kuliah, sabagai anak pertama saya merasa banyak hal yang dipikirkan. Terlebih masalah pekerjaan. Saya iri dengan rekan-rekan satu angkatan saya yang pada akhirnya bisa melanjutkan kerja di luar kota. Mereka bisa bebas menggapai impian mereka sebagai guru. Mendapat suport dari orang tua atau sanak saudara. Entah mereka dimodali atau mengumpulka uang sendiri untuk merantau. Yang pasti kondisi saya tidak serupa dengan mereka. Saya harus tetap di Jogja melihat ibu saya seorang single parent, sehingga saya lebih memilih untuk tinggal di Jogja. Sebenarnya adik kandung saya bisa menemani jika pada akhirnya saya bersikeras ingin kerja di luar kota, namun tetap saja saya terkendala di modal awal untuk ke luar kota. Hal yang terpikir saat itu hanyalah mengumpulkan uang dari hasil ngelesin sebagai modal ke luar kota, tetapi tetap saja kebutuhan hidup saya saat itu dengan hasil ngelesin tidak menyisakan uang. Terlebih duka guru privat jika tidak dibayar tepat waktu atau tidak dibayar sama sekali. Saya hanya bisa berdoa agar segera mendapatkan pekerjaan sesuai bidang saya di Jogja untuk mendapat penghasilan tetap.

Ketika saya mendapat pekerjaan untuk pertama kalinya, saya merasa diuji. Gaji sedikit, terkadang telat digaji, dan harus menghadapi beberapa anak yang bermasalah. Semua tidak mudah dijalani, tetapi jujur semua membentuk mental saya sekarang. Sampai suatu ketika saya dihadapkan pada keinginan lain untuk menikah.

Permasalahan menikah menjadi beban yang begitu berat untuk saya. Semakin dipikirkan semakin teringat penghasilan saya tidak cukup untuk membiayai menikah. Mungkin orang lain akan berfikiran orang tua sudah menyiapkan dana atau tabungan untuk pernikahan saya. Padahal yang ada, ibu saya tidak memiliki tabungan karena uang sudah sepenuhnya untuk membiayai saya masuk kuliah dan adik saya. Yang tersisa hanyalah tanah peninggalan bapak di mana tanah tersebut tidak akan di jual. Akhirnya saya memutuskan berhenti menjadi guru dan bekerja di salah satu perusahaan di bidang penerbitan. Jujur, saya nyaman dengan situasi kerja di perusahaan tersebut. Gaji yang di peroleh juga cukup. Namun, ada satu dua hal yang membuat saya merasa bahwa ini bukan passion saya. Saya teringat akan impian-impian saya sebagai guru. Saya ingin berkembang dan mengepakkan sayap sebagai seorang pendidik. Oleh sebab itu, agar kemampuan saya sebagai pendidik tidak berkurang, sepulang kerja saya tetap ngelesin matematika dari rumah ke rumah. Lelah, tetapi saya siap menjalaninya.

Di pertengahan saya bekerja, saya diperkenalkan oleh Bapa dengan dua orang wanita. Wanita pertama menginginkan saya mempunyai pekerjaan yang mapan, berstatus pegawai tetap, tetapi bukan guru, melainkan pegawai di perusahan bonafit. Wanita kedua menginginkan saya bisa mengikuti passion saya sebagai guru, mendukung apa yang ingin saya capai, mengarahkan saya untuk mencapai mimpi tersebut, selalu menegaskan bahwa rezeki tidak melulu uang dan meyakinkan bahwa saya mampu mencari penghasilan tambahan dari ngelesi. Melalui proses yang panjang dan pertimbangan yang membutuhkan pergulatan hati, saya memilih kembali menjadi guru sekaligus meminta wanita kedua untuk selalu menemani dan mensuport saya dalam berkarir sebagai guru kedepannya.

Saya paham, dengan menjadi guru banyak yang menyarankan saya untuk mencari pekerjaan lain dengan gaji lebih untuk membangun masa depan. Terlebih saya laki-laki yang kelak akan menafkahi keluarga. Akan tetapi, di sini saya sudah memilih untuk menjadi guru dengan konsekuensi digaji sedikit dan menunda untuk menikah sebagai hal yang saya korbankan.

Ya, saya sudah memilih dan sekarang saya harus berjuang untuk menggapai mimpi tersebut, menjadi guru berprestasi, dicintai, dan ada di hati murid-muridnya, kemudian mati sebagai guru.